Angin sore
bertiup mesra bersama hujan rintik menyapu dedaunan diluar jendela, indah dan
tenang, rasanya ini liburan paling sepi yang pernah terjadi. Kubuka jendela
dengan harapan angin masuk ke kamar menemani tidur siang di ranjang. BRAAKKKK
tiba-tiba pintu kamarku terbuka, Firas, adik lelaki ku yang masih kelas 3 SD. “Bang
bantu buat cerpen dong.” Rengek firas. Hancur sudah suasana indah tidur siang.
“Ya ampun Fir.. ngapain sih siang siang gini buat cerpen. Ganggu nih. Tidur
siang itu upacara sakral bagi abang, ditambah hujan lagi.” Terangku panjang
lebar. “kasih ide dong buat cerpen. Ini tugas dari diknas.” Kata Firas. Hmm
yaudalah, sebagai abang yang baik sudah sepantasnya ngebantu adek. “Yaudah ini
abang punya cerita nih. Buat inspirasi, ntar kamu buat sendiri.” Firas bahagia
merayakan kemenangannya atas menaklukanku. “Gini
ceritanya” :
Malam itu lebih dingin ketimbang biasanya. Kota
Surabaya tak biasanya sedingin ini, langit pun tak bercahaya, kelam tertutup
abu-abu. Angin dingin menyapu kulit seiring deru kendaraan, tak terlalu ramai
memang tapi cukup sulit untuk menyeberang bagi wanita paruh baya yang berusaha
menenteng dua tas besar yang entah apa isinya ditambah sebuah trolly bayi dan
tentu saja ada bayi di dalam trolly itu, bagaimana aku tahu? Tentu dari bayi
yang sejak tadi terisak di dalam trolly itu. Semua pemandangan ini hanya
kusaksikan dari dalam Coffee Café sembari meminum segelas kopi dari dalam
gelas. Kualihkan pandanganku dari wanita itu dan mencoba mencari pikiran lain. Apa yang dilakukan orang sepertiku disini sendirian,
Remaja berumur 16 tahun yang duduk-duduk di Cafe sendirian, entahlah aku juga
tak tahu, ini hanya naluri untuk keluar rumah mencari angin segar. Sedangkan di
meja sebelah kulihat cafe penuh dengan muda-mudi kebanyakan berpasangan dan
tenggelam dalam aktivitas ala anak muda pacaran di kota metropolitan.
Kembali pandanganku teralih ke wanita dengan trolly bayi,
kini ia memegang ponsel di telinga dan suaranya keras berbicara kepada orang
yang meneleponnya, ia tampak marah, mungkin suaminya menanyakan kenapa ia tak pulang-pulang.
sepertinya seseorang sedang dalam hari yang buruk. Tak terasa tubuh ini bangkit
mendekati si wanita dengan trolly bayi itu. Kulirik sebentar arloji, 08.20 PM.
“Saya rasa anda sedang dalam kesulitan.” Kata ku berusaha ramah. “Kau disini
untuk membantu?” tanya si wanita itu. “Tentu!” Kuraih dua buah tas besar di
trotoar dan si wanita membawa trolly berisi bayi nya dan kubimbing ia
menyeberang jalan. Ternyata dia menuju ke mobilnya Honda Jazz hitam di seberang
jalan. Setelah mengurus tas besar dan trolly itu masuk ke mobil ia pun masuk ke
mobil dan memanggilku “Nak!”, aku menghampirinya, iapun melanjutkan “Terimalah
ini!” ia menyodorkan uang seratus ribu rupiah padaku. “Tidak bu, saya ikhlas
membantu” jawabku, kedengaran seperti sok suci bagi remaja dengan isi dompet pas pas’an. “Aku tak
tahu apa jadinya bila tidak ada dirimu. Aku sendirian dan kesulitan dengan
barang bawaanku. Aku tak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu selain
ini.” Kata si wanita paruh baya ini. Aku termenung sebentar, dulu saat pulang
sekolah dan sepedaku bocor, seorang pengemudi mobil pick-up menawarkan
tumpangan, si sopir mengucapkan kata-kata yang selalu kuingat agar aku selalu
menolong orang yang membutuhkan. ah iya lebih baik aku mengutip kalimat yang
diucapkan sopir pick up itu padaku kepada wanita ini. Aku membisikkan sesuatu
ke ibu itu, si ibu mengangguk pertanda setuju. “baiklah nak, terima kasih atas
pertolongannya ya. Eh ngomong-ngomong siapa namamu nak?” “Irgi!” jawabku.
“namaku Bu Erlin, senang bertemu denganmu.” Si wanita pun berlalu dengan
mobilnya.
Si wanita yang bernama Bu Erlin itu melihat bayi di jok
sebelahnya. Ia sudah tertidur pulas dalam balutan selimut. Lapar menyeruak
perutnya, Setengah berpikir apakah ia harus pulang, dilihatnya Jam menunjukkan
pukul 9 malam, tak apalah pikir Bu Erlin. Ia menghentikan mobilnya di sebuah
restoran kecil. Ia gendong anaknya dan melangkah menuju pintu restoran. Disana
ada beberapa orang remaja sedang berkerumun, satu tergeletak ditanah. Baru bu Erlin sadar mereka sedang membully
anak yang terjatuh di tanah itu, anak itu pincang, kakinya di amputansi. 4 anak
lainnya ialah anak nakal yang satu berlagak seperti bos merampas kruk anak
cacat itu. Bu erlin tersentuh hatinya, ia teringat apa yang irgi bisikkan
padanya, ia harus melakukannya sekarang. Cepat ia melangkah menuju para remaja
itu. ‘Hentikaaan!! Tinggalkan anak itu sendiri!!!” pekik Bu Erlin.”Apa maumu?”
bentak salah seorang remaja itu. “tinggalkan dia.” Sentak Bu Erlin. Ia
menodongkan sebuah kaleng spray bertuliskan Pepper Spray. Bu Erlin tak berniat
menggunakannya, ia hanya bermaksud mengintimidasi. Empat remaja itu pun
mengalah, mereka meninggalkan si Anak cacat, si Bos remaja melamparkan kruk ke
si anak cacat sembari berteriak “ini belum selesai Bobby.” Bu Erlin membantunya
berdiri. “Kau tidak apa-apa nak?” bobby meraih kruknya, berdiri dengan satu
kaki dan sebuah tongkat. “Ya, saya baik-baik saja bu. Terima kasih. Seandainya
saya bisa membalasnya.” Bu Erlin menggeleng “tak perlu kau balas, ini kan
wajar. “ “terima kasih Bu, anda orang yang baik. Andai saya bisa melakukan
sesuatu untuk anda .” Bu Erlin mendekatinya “Namamu Bobby kan, begini saja
Bobby.....” Bu Erlin membisikkan sesuatu ke telinga Bobby, membisikkan kalimat
yang kukatakan(Irgi) pada Bu Erlin,
“Tentu saja saya akan melakukannya.” Jawab Bobby mantap. “Bagus.. Nah saya mau
makan dulu.” Bu Erin masuk ke dalam Restoran.
Bobby melangkahkan kakinya menuju rumah, di dekat blok
rumahnya sedang ramai karena ada pasar malam. Ia memutuskan ingin melihat
sesuatu di dalam pasar malam. Di tengah keramaian Bobby melihat ada seorang
lelaki berumur sekitar Tiga puluh tahunan,
Pria itu merangkak di tanah, Bajunya sudah kotor dan Bau, kedua kakinya
diperban yang sudah kotor dan mengeluarkan bekas darah di perbannya,
orang-orang di lingkungan situ biasa memanggilnya Mas Bono. Bobby merasa iba
padanya, bukan karena ia cacat, tapi karena Mas Bono berbohong. Ia pernah
memergoki mas Bono berjalan dengan kedua kakinya utuh dan baju yang bagus,
itulah kenapa Bobby iba, sebenarnya faktor ekonomi juga yang menyebabkan mas
Bono pura-pura jadi gelandangan yang cacat agar bisa tetap mencari sesuap nasi,
Bobby juga tahu mas Bono karena mereka berada di lingkungan yang sama. Mas Bono
terus merangkak sambil memegang kaleng meminta belas kasihan kepada orang yang
lewat. Seseorang memasukkan uang 200 perak ke kaleng Mas Bono, Mas Bono
mengumpat-umpat, “DASAR PELIT LHO.”
Namun setelahnya ia memasang muka iba lagi, tiba-tiba ada tangan yang
mengulurkan uang berwarna merah bergambar pahlawan proklamator Indonesia ke
dalam kaleng Mas Bono. Mas Bono senang bukan main, ia tak menyangka akan ada
orang yang memberinya uang sebanyak itu. Omset nya per hari pun takkan pernah
sebanyak itu. “Alhamdullilah, terima kasih sudah diberi uang banyak.” Seketika
mas Bono berbalik untuk melihat siapa yang memberiya uang 100 ribu, lalu ia
tersentak kaget. Seorang bocah cacat yang berdiri satu kaki dibantu kruk,
Bobby. Bobby susah payah jongkok agar ia
bisa berhadapan dengan mas Bono. “Semoga uangnya cukup buat makan ya mas.” Kata
Bobby. Mas Bono merasa malu, ia sangat malu, baru kali ini ia malu berakting
menjadi orang cacat yang meminta-minta tapi sebenarnya dia orang normal,
malahan Bobby yang cacat malah bersedekah kepada mas Bono yang normal. “Bagaimana
saya bisa membalas kebaikan anda?” tanya mas Bono. Bobby membisikkan sesuatu ke
mas Bono, kata-kata yang diberitahukan Bu Erlin kepadanya, kemudian Bobby
bangkit berdiri dan pergi. Mas bono menangis, ia malu dan marah, marah kepada
dirinya sendiri, dia mengutuk dirinya sendiri karena berpura-pura cacat. Ia
langsung bangkit dari posisi merangkaknya, ia lepas perban yang membalut
kakinya, sambil berkaca-kaca ia meninggalkan keramaian, kaleng dan seisinya ia
berikan saat menemui pengemis tua dijalan. Setelahnya mas Bono duduk bersimpuh
di trotoar dalam keramaian yang mulai surut sambil menyesali perbuatannya, tak
henti-hentinya ia menyebut nama Allah SWT.
Aku mulai
mengendarai motorku menuju rumah. Sudah larut malam, lagian sepertinya langitnya
mendung. Saat berbelok ke arah rumah, tanpa kusangka motorku melewati jalanan
berpasir tipis, Ban ku oleng dan Aaaaa, Bruaakk.. motorku terjatuh Dan tentu
saja akupun ikut terjatuh, jatuh rebah di jalan aspal.. Seseorang pria datang
menghampiriku, membantuku berdiri, dan mengurus motorku. “Baik-baik saja mas?”
tanya orang itu sopan. Aneh banget, pria ini tampangnya serem dan lusuh tapi
matanya teduh dan sopan. “Iya mas, bak-baik aja kok.” jawabku. Mas tadi
langsung masuk ke dalam minimarket, beberapa saat setelahnya ia kembali sembari
membawa dua kaleng cola. “ini mas diminum, abis jatuh pasti kaget, jadi minum
dulu.” Tuturnya. Karena emang lagi haus dan alhamdullilah gratis, kuraih cola
ditangannya. “Makasih lho mas, repot gini, ngomong-ngomong namanya sapa mas?”
Kataku sembari meminum cola. “panggil aja Mas Bono!” jawabnya enteng. “kalo mas
ini?” sambungnya. “saya irgi. Makasih mas udah nolongin, ngasih minum, thanks
banget. Kalau aja ada yang bisa saya lakukan.” Kataku panjang lebar. “gaperlu
mas tapi....” mas bono membisikkan sesuatu ditelingaku, ia mengatakan apa yang
Bobby katakan padanya. Mas Bono tersenyum simpul dan segera pamit pulang. Aku
hanya tertegun disini, apa yang mas bono bisikkan padaku jelas adalah kata yang
kubisikkan ke Bu Erlin. Bagaimana bisa. Ahh.... Aku tau sekarang, senyum tipis
tersembul di wajahku. Kebaikan ini sudah tersalurkan dan kembali padaku.
Kulirik Firas, semoga ia tak ketiduran mendengar kisah
ini. Firas, Oh bagus ia mendengarkan dengan serius di tempat tidurku. “Jadi,
kau tahu pelajaran yang bisa diambil dari kisahku tadi firas?” tanyaku
mengujinya. Sepertinya ia tak sabar ingin menjawab. “Iya bang, jadi kebaikan
yang kita lakukan, suatu saat bahkan mungkin saat itu juga akan kembali pada
kita. Yey sekarang aku punya bahan bagus untuk buat cerpen.” Jawab firas.
Adikku memang pintar, dia mengerti arti kisah ini. “Tapi Bang, dalam cerita
tadi ada saat Kau membisikkan sesuatu ke Bu Erlin, lalu Bu Erlin membisikkan ke
Bobby, Bobby membisikkan pada Mas Bono, dan Mas Bono membisikkannya kembali
padamu. Aku pikir yang mereka semua bisikkan ialah hal yang sama. Apa yang
mereka Bisikkan Bang?” sudah kuduga, adikku memang jeli. “Apa yang kubisikkan
ke Bu Erlin lalu Bu Erlin bisikkan ke Bobby, dan Bobby bisikkan ke Mas Bono lalu
bisikkan itu kembali lagi padaku ialah: Jika Kau Ingin Membalas Budi dari
Perbuatan Baik Ku ini, Maka jika kau melihat orang kesusahan, ingatlah aku
pernah menolongmu, tolonglah dia dan suruh dia melakukan hal yang sama,
teruskanlah rantai Kebaikan ini, Jangan
Biarkan Kebaikan Ini Terputus pada dirimu.”
Selesai
The Owner of this Story is :
Irgi Dwi Fahrezi
If you respect me, please insert my domain blog when you repost this story. Thanks :D
Copyright : The owner of this Blog
0 comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak anda dengan berkomentar sebagai apresiasi kepada penulis. :)